Selamat datang di Website SAGA NEWS, Terima kasih telah berkunjung, selamat membaca, tertanda Pemimpin Redaksi: Thamrin Tragedi Wanda dan Tuntutan Hukum Adat: “Jangan Biarkan Nilai-Nilai Kultural Kita Mati

Notification

×

Iklan

BERITA

Tragedi Wanda dan Tuntutan Hukum Adat: “Jangan Biarkan Nilai-Nilai Kultural Kita Mati

Kamis, 26 Juni 2025 | Juni 26, 2025 WIB Last Updated 2025-06-27T06:59:57Z

Saga News,Sumbar - Gema ketakutan masih terasa di Korong Lakuak, Nagari Sungai Buluah, Kecamatan Batang Anai. Bukan hanya karena sadisnya pembunuhan berantai yang dilakukan Satria Johanda alias Wanda, melainkan karena luka sosial yang ditinggalkan begitu dalam baik secara psikologis maupun kultural. Di tengah trauma kolektif itu, suara dari kalangan praktisi hukum mulai muncul, menyerukan agar fungsi hukum adat dan nilai lokal Minangkabau kembali ditegakkan sebelum krisis ini melahirkan "Wanda-Wanda" baru di masa depan.


Mahdiyal Hasan, SH, MH, seorang praktisi hukum Alumni Universitas Andalas dan pernah menjadi Ketua Sapma Pemuda Pancasila dan Ketua Tidar Sumatera Barat yang juga pengamat sosial-budaya Minang, menilai bahwa tragedi ini adalah cerminan dari longgarnya ikatan sosial dan hilangnya fungsi kontrol adat dalam kehidupan masyarakat kontemporer.


“Hukum bukan semata-mata soal perundang-undangan formal. Ia adalah kumpulan norma dan nilai yang tumbuh, hidup, dan dihormati masyarakat. Kasus Wanda ini adalah sinyal keras bahwa nilai itu tengah rapuh, bahkan nyaris mati,” ujar Mahdiyal, Jumat (27/6/2025).


Ketika “Tigo Tungku Sajarangan” Tidak Lagi Seimbang


Menurut Mahdiyal, sumarak Minangkabau dahulu dibangun atas prinsip “Tigo Tungku Sajarangan” yakni tungku tempat memasak yang ditopang oleh tiga unsur: ninik mamak (pemangku adat), alim ulama, dan cadiak pandai. Ketiganya berfungsi sebagai penyangga moral, spiritual, dan intelektual masyarakat. Ketika salah satunya pincang atau tidak berfungsi optimal, masyarakat akan kehilangan arah.


“Dalam konteks kasus Wanda, kita melihat bagaimana fungsi ‘tungku’ ini melemah. Tidak terlihat peran aktif ninik mamak dalam mendidik anak kemenakan. Ulama kehilangan suara dalam membentengi akhlak. Cadiak pandai tak hadir dalam membentuk kesadaran hukum,” ujar Mahdiyal dengan nada prihatin.


Ia menegaskan bahwa kerapuhan sistem sosial dan minimnya peran adat bisa menjadi pintu masuk bagi penyimpangan—mulai dari narkoba, pencurian, hingga pembunuhan. Wanda hanyalah hasil akhir dari proses sosial yang gagal dikawal oleh lingkungan adat dan hukum kultural.


“Jangan Salahkan Hanya Keluarga, Salahkan Sistem yang Membiarkan Mereka Tumbuh dalam Gelap”


Menanggapi penolakan warga terhadap keluarga Wanda, Mahdiyal mengakui bahwa rasa trauma dan ketakutan warga sangat wajar, namun ia juga mengingatkan agar masyarakat tidak terjebak dalam penghakiman emosional semata.


“Kita tidak bisa serta-merta menyalahkan keluarga pelaku sepenuhnya. Ini adalah akibat dari lemahnya sistem pengawasan sosial. Seharusnya sejak awal, bila hukum adat berjalan, maka perilaku menyimpang seperti narkoba dan kriminalitas bisa dicegah atau setidaknya diminimalisir,” jelas Mahdiyal.


Ia menyebut bahwa fungsi penghukuman tidak cukup hanya dilakukan oleh negara melalui pidana, tetapi juga harus melibatkan pendekatan kultural melalui lembaga adat yang memiliki legitimasi di tengah masyarakat Minang.


Krisis Sosial sebagai Cermin: Bangkitkan Kembali Marwah Adat


Mahdiyal menegaskan, tragedi ini harus dijadikan cermin reflektif bagi seluruh pemangku kepentingan adat di Sumatera Barat. Ia menyerukan agar lembaga adat dihidupkan kembali bukan sekadar simbolik, tetapi benar-benar menjalankan fungsi sosial dan preventif dalam kehidupan sehari-hari.


“Kita tak boleh menunggu tragedi seperti ini baru sadar. Kalau tigo tungku sajarangan kita biarkan mati, maka ke depan bukan hanya Wanda yang muncul, tapi bisa lebih dari itu. Inilah saatnya hukum adat hadir kembali sebagai benteng peradaban kita.”


Mahdiyal juga mendorong agar ada pembinaan sistematis terhadap keluarga-keluarga yang dianggap bermasalah, tidak hanya diisolasi atau dikucilkan.


Jika fungsi hukum adat itu berjalan tentu itu akan mereduksi tingkat kejahatan itu sendiri. Kolaborasi antara Tigo Tungku Sajarangan dengan Bhabinkamtibmas dan Babinsa harus bersinergi agar tercapainya supremasi hukum itu sendiri 


“Kita perlu kembali pada prinsip dasar Minangkabau: ‘Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah.’ Jangan biarkan sistem nilai itu hanya jadi slogan. Saatnya kita hidupkan kembali dengan tindakan nyata.”


Hukum Tak Hanya di Pengadilan, Tapi Juga di Rumah dan Kampung


Tragedi Wanda menjadi pengingat pahit bahwa hukum tidak hanya berjalan di ruang-ruang sidang pengadilan, tapi harus hidup di rumah-rumah gadang, di surau, dan di tengah kampung. Bila masyarakat kehilangan kontrol sosial, maka kejahatan bukan hanya mungkin terjadi, tapi justru tumbuh subur.


Kini, warga Korong Lakuak telah bersuara, namun masyarakat adat Minangkabau secara keseluruhan juga harus merespons. Tragedi ini adalah luka bersama dan penyembuhannya harus dilakukan melalui kerja kolektif antara negara, adat, agama, dan masyarakat.


“Biarlah kasus Wanda menjadi kasus terakhir. Tapi itu hanya mungkin jika kita, orang Minang, benar-benar kembali memeluk nilai-nilai yang dulu membesarkan kita,” tutup Mahdiyal Hasan dengan nada harap.(mond)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

×
Berita Terbaru Update
Selamat datang di Website SAGA NEWS, Terima kasih telah berkunjung, selamat membaca, tertanda Pemimpin Redaksi: Thamrin